Menyongsong Tahun 2024 dengan Rangkaian Beban Masalah 2023

Menyongsong Tahun 2024 dengan Rangkaian Beban Masalah 2023




Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN), Universitas Borobudur, Universitas Terbuka (UT) dan Universitas Purbalingga (UNPERBA)


DAMPAK ketidakpastian global tahun 2023 dengan segala eksesnya masih akan berlanjut di tahun 2024, dan Indonesia tidak akan luput dari ragam ekses itu. Untuk meminimalisir semua ekses itu, pengelolaan dan pemanfaatan semua sumber daya nasional hendaknya tetap berpijak pada semangat dan kewajiban untuk sebesar-besarnya memenuhi kebutuhan dasar warga negara. Dalam konteks itu, aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya nasional hendaknya fokus pada ketersediaan bahan pangan dengan harga terjangkau,  termasuk upaya menyediakan air bersih bagi komunitas warga yang rentan terdampak kekeringan.

Beberapa hari ke depan, dunia akan memasuki tahun baru, 2024. Apa yang akan terjadi di tahun mendatang bisa diprediksi saat ini, tentu saja dengan berpijak pada ragam persoalan riel yang belum terselesaikan sepanjang tahun 2023. Sebagian komunitas warga di dalam negeri pasti fokus ke pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 pada bulan Februari, serta coba mengkalkulasi hasil Pemilu tersebut. Tentu saja itu tidak ada masalah. Terpenting, pesta demokrasi itu hendaknya berjalan damai dengan hasil yang produktif.

Namun, ada baiknya untuk juga menyisihkan waktu guna melihat dan memahami dinamika global. Seperti juga yang sedang dan akan terus dihadapi komunitas global di tahun mendatang, persoalan yang akan dihadapi masyarakat Indonesia bukan semata-mata hasil Pemilu 2024. Semua orang tahu dengan sendirinya bahwa dampak perubahan iklim dengan semua eksesnya masih berlanjut di tahun mendatang.

Salah satu ekses perubahan iklim adalah ketidakpastian global yang ditandai dengan peningkatan suhu bumi. Fakta ini menyebabkan periode kekeringan yang panjang dan berdampak langsung pada menurunnya produktivitas lahan pertanian tanaman pangan. Kekeringan menyebabkan gagal panen, yang biasanya berujung pada kenaikan harga bahan pangan. Periode kekeringan yang panjang juga menyebabkan komunitas warga di sejumlah wilayah pemukiman kesulitan mendapatkan air bersih.

Ketegangan geopolitik pun menjadi faktor lain yang masih berkontribusi terhadap ketidakpastian. Perang antara Rusia-Ukraina, serta perang Israel-Hamas, menyebabkan ketidakpastian di pasar yang ditandai dengan naiknya harga pangan dan harga energi. Belum lagi faktor ketegangan di Laut China Selatan. Jadi, karena ketidakpastian global selalu menghadirkan dampak yang luas, Indonesia harus cermat pula dalam mengkalkulasi dampak ketegangan geopolitik itu.

Ketidakpastian yang berlarut-larut itu pada akhir semakin memperburuk dinamika perekonomian global, yang akhir-akhir ini ditandai dengan naiknya suku bunga acuan pada sejumlah negara di dunia. Kecenderungan tingginya suku bunga acuan pada tingkat global diperkirakan berlangsung lebih lama. Faktor naiknya suku bunga setidaknya berdampak ganda bagi banyak negara berkembang, termasuk emerging market. Pertama, Selain melemahnya valuta lokal (rupiah), beban pembayaran bunga utang luar negeri otomatis membengkak. Kedua, likuiditas di negara-negara berkembang akan terkuras akibat penarikan dana asing (capital out flow).

Menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu),  total utang Indonesia hingga akhir November 2023 sebesar Rp8.041,01 triliun, dengan rasio terhadap PDB 38,11 persen. Pembayaran bunga utang pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 masih cukup tinggi, yakni mencapai Rp441,4 triliun. Naiknya suku bunga saat ini tentu akan berdampak pada volume bunga utang di tahun-tahun mendatang.

Itulah beberapa catatan sisa permasalahan utama tahun 2023 yang proses penanganannya harus dilanjutkan di tahun 2024. Sepintas memang tidak mudah. Paling utama, tentu saja membangun kesadaran bersama bahwa defisit bahan pangan, khususnya beras, semakin lebar akibat menyusut areal tanaman pangan dan menurunnya volume produksi. Kedua, cermat mengkalkulasi ekses dari ketegangan geopolitik terhadap kepentingan nasional. Lalu, dengan naiknya suku bunga dan depresiasi rupiah, Indonesia tentu harus mewaspadai risiko gelembung beban bunga utang yang semoga saja tidak signifikan membebani APBN tahun-tahun mendatang. Lebih dari itu, semoga saja hasil Pemilu 2024 tidak menambah persoalan.

Telah berulangkali diingatkan bahwa perubahan iklim pasti memperlemah ketahanan pangan dan ketahanan air. Indonesia sudah mengalami dampak itu. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat bahwa , Indonesia mengalami penurunan curah hujan tahunan sebesar 1-4 persen pada periode 2020-2034 dibanding periode 1995-2010. Fakta ini menyebabkan terjadinya kekeringan dan menyusutnya ketersediaan air. Volume produksi padi juga berpotensi menurun akibat pergeseran musim dan puncak hujan yang mendorong berubahnya metode tanam.

Data Bappenas memperkirakan, produksi padi di Indonesia menurun sekitar 1,13 juta ton-1,89 juta ton akibat perubahan iklim. Lahan pertanian seluas 2.256 hektar sawah pun terancam kekeringan. Sementara itu, dari aspek konsumsi pangan rumah tangga, kondisi ketahanan pangan Indonesia juga tidak terlalu baik dan memerlukan perhatian serius. Angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan pada 2022 meningkat menjadi 10,21 persen dari 8,49 persen pada 2021.

Peringatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperkuat perkiraan Bappenas. BPS mengingatkan tentang perlunya mewaspadai potensi defisit beras. BPS misalnya, memperkirakan bahwa defisit terbesar terjadi pada Desember 2023, mencapai  1,45 juta ton beras.  BPS juga mencatat adanya risiko penurunan luas panen dan produksi padi di akhir 2023 yang berdampak pada defisit bulanan untuk neraca komoditi beras.

Masih menurut BPS,  penurunan luas panen dan produksi terjadi di provinsi yang selama ini menjadi sentra produksi nasional. Meliputi Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung dan Jawa Tengah. Sentra produksi padi itu mengalami penyusutan luas panen.

Data tentang defisit produksi beras dan data mengenai penurunan luas panen perlu dikedepankan agar menjadi perhatian semua pemangku kepentingan, baik di pusat maupun daerah. Masalah ini harus dikelola dengan penuh kebijaksanaan karena berkait langsung dengan kebutuhan dasar lebih dari 270 juta jiwa rakyat Indonesia.

Impor bahan pangan tidak akan mudah lagi karena faktor ketidakpastian global itu. Kesulitan itu, mau tak mau, menyadarkan dan memaksa Indonesia untuk mulai berupaya mandiri pada aspek pengadaan pangan. Maka, pengelolaan dan pemanfaatan semua sumber daya nasional, utamanya anggaran negara, hendaknya tetap ditujukan pada semangat dan kewajiban untuk sebesar-besarnya memenuhi kebutuhan dasar warga negara.  Upaya mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan negara-bangsa hendaknya diprioritaskan.

Tidak kalah pentingnya adalah upaya menyediakan air bersih bagi masyarakat yang terdampak kekeringan. Rencana program pemerintah tentang ketahanan air hendaknya segera direalisasikan. Program menjaga dan meningkatkan luas tutupan hutan, serta konservasi sumber daya air dengan pembangunan waduk dan jaringan irigasi, idealnya semakin dipercepat sebagai antisipasi dampak perubahan iklim di tahun-tahun mendatang.

Bagi Indonesia, tahun 2024 tidaklah mudah karena masih terdampak oleh ketidakpastian global. Hasil Pemilu 2024 tidak otomatis dapat menyelesaikan persoalan-persoalan strategis yang mengemuka sepanjang 2023. Bahkan, jika tidak bijaksana, bukan tidak mungkin rangkaian persoalan strategis itu akan tereskalasi, baik karena faktor eksternal maupun faktor yang bersumber dari dalam negeri.

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama