Statemen Hak Angket

Statemen Hak Angket

JIMLY ASSHIDDIQIE - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Guru Besar Kehormatan UNHAN, STHM, dan Honorary Professor of Melbourne University School of Law. Ketua MKRI pertama (2003), Ketua DKPP pertama (2012), dan anggota DPD-RI dan MPR-RI (2019-2024)


1. Hak angket atau penyelidikan sebagai salah 1 sarana pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap jalannya pemerintahan, selalu digunakan oleh DPR di masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SB. Yudhoyono. Hanya di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, hak angket DPR belum pernah digunakan. Hak angket oleh DPR mencerminkan berjalannya fungsi ‘checks and balances’ antar cabang kekuasaan eksekutif vs legislatif sebagai perwujudan sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945. Karena itu, rencana pengunaan hak angket sebagai PROSES POLITIK di DPR harus dilihat secara positif saja dalam rangka penguatan sistem demokrasi yang berkualitas dan berintegritas.


2. Sementara itu, PROSES HUKUM penyelesaian perkara melalui peradilan administrasi di Bawaslu dan PT-TUN, peradilan pidana pemilu di peradilan umum, dan peradilan hasil pemilu di MK harus pula dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menyalurkan aspirasi ketidak-puasan terhadap proses dan terhadap hasil pemilu. Kedua proses politik dan hukum ini sama-sama penting untuk memindahkan ketidak-puasan dan kemarahan publik terhadap proses dan hasil pemilu, terutama hasil pilpres, melalui mekanisme yang resmi ke ruang-ruang sidang yang resmi di DPR, ataupun di BAWASLU dan di MK.


3. Mari kita saksikan kedua proses itu dengan positif, sabar, dan dengan kepercayaan dan sikap optimis bahwa dinamika ketegangan dan luapan emosi publik, pada waktunya, akan reda dan mulai tanggal 1 dan tanggal 20 oktober 2024 akan menghasilkan pemerintahan baru yang dapat bekerja dengan sebaik-baiknya menurut konstitusi dan aturan hukum dan etika penyelenggaraan pemerintahan yang berlaku dengan dukungan fungsi pengawasan yang efektif dari parlemen dan fungsi peradilan yang terpercaya dari cabang kekuasaan kehakiman.
 

4. Tentu para pihak aktif berperan dengan tanggungjawabnya masing-masing dalam lembaga DPR, di KPU, BAWASLU, DKPP, di MK dan MKMK dan lembaga lain yang terkait, perlu bekerja semakin aktif dengan sikap dan tekad untuk bekerja independen, imparsial, professional, transparan, dan berintegritas, serta jelas terlihat tampil di mata publik sungguh-sungguh bersikap independen, imparsial, professional, transparan, dan berintegritas, dalam bidang tugasnya masing-masing.
4.1. Para anggota DPR sebagai peserta pemilu harus memahami batas-batas kewenangannya terkait dengan pelaksanaan hak angket dengan mempertimbangkan sungguhnya tentang (a) maksud dan tujuan serta substansi isu yang hendak diputuskan, tidak melebar kepada isu-isu liar, seperti pemakzulan Presiden, pembatalan hasil pemilu, dan lain-lain yang dapat dinilai memenuhi unsur sebagai tindakan makar yang diatur dalam KUHP, dan (b) aspek ‘timing’ dan jadwal waktu yang tersedia, sehingga pelantikan anggota DPR, DPD, DPRD, dan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang telah ditentukan benar-benar tidak terganggung untuk menjamin jangan sampai terjadi kevakuman kekuasaan menurut UUD 1945.
4.2. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu, yaitu KPU, Bawaslu, DKPP, harus menyadari dan disadari kedudukannya sebagai cabang kekuasaan ke-4 di luar cabang kekuasaan pemerintahan eksekutif, legislatif, dan cabang kekuasaan kehamkiman. Presiden/Wakil Presiden dan para anggota adalah peserta pemilu, sedangkan kekuasaan kehakiman, berfungsi mengadili proses dan hasil pemilu. Karena itu, KPU, Bawaslu dan DKPP adalah kekuasaan tersendiri yang tidak boleh tunduk di bawah tekanan para anggota DPR ataupun pasangan calon presiden/wapres sebagai peserta pemilu. Apapun hasil pelaksanaan hak angket DPR tidak boleh dipaksakan efektifitasnya terhadap keputusan KPU mengenai teknis pelaksanaan tahapan pemilu beserta hasilnya kecuali atas perintah BAWASLU atau PT-TUN, dan Mahkamah Konstitusi dengan putusan yang berlaku final dan mengikat.
 

5. Pelanggaran yang biasa disebut kecurangan massif selalu terjadi dalam pemilu sejak orde baru, dan juga pemilu masa reformasi sejak 1999; Sejak dimulainya pilpres langsung pertama pada tahun 2004 hingga pemilu 2009, 2014, 2019, dan bahkan 2024 pada saat dimulainya praktik pemilu serentak. Pelanggaran massif selalu terjadi di semua pemilu, dan cenderung makin meningkat, termasuk ketika dimulainya praktik sistem suara terbanyak tahun 2009 yang menyebabkan caleg internal parpol saling bersaing sendiri-sendiri, dan puncaknya pada pemilu serentak 2024 yang menyebabkan perhatian terpusat ke pilpres. Pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif (TSM) sering terjadi dalam praktik di pilkada, terutama pilbup dan pilwako, karena perhatian tertuju ke pilpres, pada pemilu 2024 ini muncul persepsi umum, kecurangan terjadi karena faktor Presiden Jokowi, sehingga dinamika politik di sekitar proses dan hasil pemilu 2024 berkembang makin tegang dan penuh emosi. Mari turunkan emosi kita, dan tingkatkan semangat musyawarah kita menemukan kebenaran dan keadilan dari aneka perbedaan karena (i) perbedaan data dan informasi, (ii) perbedaan perspektif atau sudut pandang, atau (iii) perbedaan kepentingan, yang ketiganya dapat dipertemukan dengan musyawarah dan pedebatan rasional di ruang sidang untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kemajuan peradaban dalam kehidupan berbangsa bernegara.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama