Harkosta Ario Sopaba (Mahasiswa S2 Departemen Politik dan Pemerintahan UGM Yogyakarta) |
MEDIAHALUOLEO.COM | Opini - Transisi demokrasi di Indonesia dimulai sejak runtuhnya Orde Baru pada tahun 1998, menandai perubahan besar dari otoritarianisme ke demokrasi yang dianggap sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah politik Asia Tenggara. Banyak ahli berpendapat bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun, demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan serius akibat dominasi oligarki. Di satu sisi, demokrasi menjanjikan kedaulatan rakyat, tetapi di sisi lain oligarki menciptakan kekuasaan yang terkonsentrasi pada segelintir kelompok.
Oligarki dalam demokrasi Indonesia tidak hanya merusak kedaulatan rakyat, tetapi juga memanfaatkan kelemahan institusional untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Mereka dapat beradaptasi baik dalam masa Orde Baru maupun setelahnya. Fenomena ini relevan dengan konsep Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy (2011), yang menjelaskan bagaimana oligarki menggunakan kekayaan material untuk mempengaruhi politik, baik dalam sistem otoriter maupun demokratis. Hal ini berdampak besar terhadap kebijakan publik serta menimbulkan tantangan dalam menciptakan demokrasi yang lebih inklusif.
Demokrasi Prosedural: Kemajuan atau Ilusi?
Demokrasi Indonesia pasca-1998 sering dipandang sebagai model demokrasi prosedural yang berhasil, dengan pemilu langsung untuk memilih presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif yang menjadi norma. Namun, demokrasi prosedural ini tidak selalu menjamin tercapainya demokrasi substantif yang mewujudkan keadilan sosial, ekonomi, dan politik bagi rakyat.
Masalah utama dalam demokrasi prosedural ini adalah biaya politik yang sangat tinggi, yang membuat kandidat kepala daerah membutuhkan dana miliaran rupiah untuk bersaing dalam pemilu. Biaya politik yang tinggi memberikan peluang bagi oligarki untuk terlibat dengan memberikan bantuan dana kepada para kandidat, tentu saja dengan kepentingan politik yang mengikuti di belakangnya.
Ini adalah ilusi berbahaya ketika demokrasi tampak berjalan secara demokratis, tetapi dalam kenyataannya termanipulasi. Sistem pemilu yang memerlukan dana besar membuka peluang bagi oligarki untuk memberikan bantuan dana kepada kandidat, yang kemudian dapat digunakan untuk berkampanye secara legal maupun ilegal. Dalam praktiknya, money politics kerap digunakan untuk membeli suara masyarakat. Jika kandidat tersebut menang, tampak seolah-olah ia menang secara demokratis dengan suara dominan, namun metode yang digunakan tidaklah demokratis.
Oligarki dan Dominasi dalam Demokrasi
Dalam konteks Indonesia, oligarki dapat didefinisikan sebagai sekelompok kecil orang yang menguasai sebagian besar sumber daya dan kekayaan. Mereka tidak hanya menjadi oligarki, tetapi juga dapat bertransformasi menjadi elite dengan kekayaan material yang memungkinkan mereka mempengaruhi kebijakan negara. Mereka tidak hanya menguasai sumber daya ekonomi, tetapi juga memainkan peran kunci dalam menentukan arah politik nasional dan daerah.
Partai politik di Indonesia sering kali menjadi kendaraan politik bagi oligarki ini untuk melaksanakan kepentingan mereka. Banyak partai politik saat ini dipimpin oleh individu yang memiliki latar belakang ekonomi kuat, sehingga kebijakan partai seringkali selaras dengan kepentingan ekonomi mereka.
Tidak hanya partai politik yang terpengaruh, sistem desentralisasi juga menjadi sasaran. Kewenangan pemerintah pusat yang diberikan ke daerah menjadi celah bagi oligarki lokal untuk memainkan politiknya di tingkat daerah. Salah satu contoh buruk dari desentralisasi adalah politik dinasti. Kepala daerah yang berasal dari dinasti politik dapat memanfaatkan posisinya untuk mengamankan kontrak pemerintah bagi keluarga atau kolega mereka. Studi Indonesian Corruption Watch (2022) menunjukkan bahwa dinasti politik memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terlibat dalam korupsi dibandingkan kepala daerah independen.
Setelah berhasil menempatkan wakil mereka dalam jabatan publik atau pemerintahan, oligarki cenderung menggunakan posisi tersebut untuk mengarahkan kebijakan sesuai kepentingan mereka. Hal ini bisa mencakup kebijakan pengelolaan sumber daya alam, pengadaan proyek strategis nasional, hingga regulasi yang memudahkan mereka mengakumulasi kekayaan sebagai elite.
Dominasi oligarki dalam politik menyebabkan dekonsolidasi demokrasi, di mana demokrasi tidak lagi menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, melainkan arena pertarungan antar-elite yang dibalut narasi populisme. Rakyat, yang sering dijadikan penonton dalam pemerintahan, semakin kehilangan akses dalam mempengaruhi kebijakan karena proses pengambilan keputusan yang sering dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi masyarakat. Hasilnya adalah kebijakan yang seharusnya berorientasi pada rakyat malah mengabaikan kepentingan mereka dan lebih menguntungkan elite, memperbesar ketimpangan sosial.
Solusi Menghadapi Paradoks Demokrasi
Meskipun tantangan dalam demokrasi besar, bukan berarti tidak ada solusi untuk meminimalisir masalah ini. Beberapa strategi berikut dapat diambil untuk melemahkan pengaruh oligarki dalam demokrasi, antara lain: Pertama, perlu membatasi donasi politik dari pihak swasta dan menerapkan audit independen atas pembiayaan kampanye untuk mengurangi ketergantungan partai politik pada oligarki. Kedua, membuat regulasi yang memfilterisasi atau mengontrol serta mengawasi pembiayaan kampanye dalam pemilu, untuk mengurangi pengaruh oligarki. Ketiga, adanya regulasi yang melarang dinasti politik perlu diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan dan monopoli kepentingan. Keempat, perlunya keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan publik, termasuk dalam proyek besar, dapat mengurangi kolusi antara pejabat dan oligarki.
Terakhir, organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial perlu diperkuat untuk mengawasi jalannya demokrasi dan memastikan suara rakyat didengar. Paradoks demokrasi di Indonesia mencerminkan ketegangan antara idealisme kedaulatan rakyat dan realitas dominasi oligarki. Saat ini, demokrasi di Indonesia berjalan secara prosedural, namun seringkali substansinya dikooptasi oleh kepentingan elite. Dampaknya terlihat pada kebijakan publik yang tidak pro-rakyat, ketimpangan sosial yang semakin melebar, dan terbatasnya akses rakyat dalam pengambilan keputusan.
Meski begitu, masih ada harapan melalui reformasi politik yang terarah, regulasi yang kuat dan tidak bercelah, serta penguatan masyarakat sipil dan partisipasi rakyat yang lebih aktif. Upaya ini memerlukan komitmen bersama dari semua pihak yang percaya pada kedaulatan rakyat sebagai inti demokrasi.